Perempuan – perempuan Tertindas dalam Sastra



Perempuan – perempuan Tertindas dalam Sastra
Oleh IBW  Widiasa Keniten
            Penindasan terhadap perempuan tampaknya menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering. Penindasan itu bisa berlatang belakang karena rezim yang berkuasa,  poitik yang berkuasa.  Penindasan juga karena faktor keinginan akibat tekanan ekonomi dan keinginan meninggikan status sosial. .

            Maman S. Mahayana ( 2007: ix)  dalam kata pengantar Laut dan Kupu – Kupu kumpulan cerpen Korea mengatakan sastra merupakan ekspresi kegelisahan pikiran dan perasaan manusia individu pengarang yang mengungkapkan peri kehidupan masyarakat di sekelilingnya, memantulkan potret zamannya, dan menegaskan harapan – harapan, visi, obsesi, atau bahkan kecemasan tentang masa depan kehidupan masyarakatnya, maka sesungguhnya sastra dapat digunakan sebagai pintu masuk mempelajari dan memahami kebudayaan sebuah bangsa. Tampaknya karya – karya cerpen yang terkumpul dalam Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya dapat diurai mengenai hal di atas. Karya sastra menurut Sutardi dalam kata pengantar Sastra Eksistensialisme- Mistisisme Religius ( 2010: vi)  tak pernah terlepas dari sistem sosial budaya yang melingkupinya. Oleh karena itu, karya sastra bisa merupakan gambaran yang melukiskan realitas sosial tanpa harus menyatakan sikap terhadap sistem sosial.

Tak Miliki Makna
            Kumpulan cerpen Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya memuat sembilan cerpen,(1) Bagaimana Berpolitik Melalui Seekor Kodok oleh A.S. Laksana;(2) Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya oleh FX Rudy Gunawan;(3) Monolog Tongkat Catatan Harian Seorang Penyair Buta oleh Irwan D. Kustanto;(4) Festival Topeng Nasional oleh Lan Fang;(5) Para Pencerita oleh Linda Christanty; (6) Wasiat untuk Cucuku oleh Martin Aleida; (7) Menjadi Anjing oleh Miranda Harian;  (8) Grubug oleh Oka Rusmini; ( 9) Juru Runding oleh Puthut EA.
            Cerpen – cerpen di atas secara umum mengungkapkan masalah penindasan terhadap kaum perempuan. Perempuan seakan –akan tidak memiliki makna dalam hidupnya. Perempuan seakan tidak berhak atas hidupnya. Hidupnya seperti tergantung pada rezim yang berkuasa atau tergantung pada keinginan – keinginannya. Kemandirian jiwa sebagai seorang perempuan tampaknya belum didapatkannya.
            Seolah – olah perempuan – perempuan yang tergambarkan dalam kumpulan cerpen ini belum menemukan jati dirinya. Ia masih banyak dipengaruhi oleh faktor – faktor luar. Keberanian untuk menentukan sikapnya belum berani. Tampaknya menyiratkan perempuan itu biasa ditindas. Dan penindasan itu sampai detik inipun masih terus terjadi. Permeskosaan hak hidup dan hak azasinya sebagai manusia seakan – seakan tidak mendapatkan tempat dan tidak dihargai oleh sesama manusia.         Manusia – manusia yang kering hati nuraninya. Manusia – manusia yang tidak bisa menghargai seorang perempuan yang nota bene melahirkannya.
           
Situasi Sekarang
            Kesewenang-wenangan terhadap perempuan  dapat dilihat dalam Grubug karya Oka Rusmini. Keluarga Ni Luh Putu Grubug yang  tertindas karena dicurigai sebagai PKI. Orang tuanya diculik dan mayat ayahnya diremah sebagai penghalau bencana. Ni Luh Putu Grubug juga sama dari remaja sampai tua renta juga mendapatkan perlakuan tidak senonoh. Yang paling menyakitkan ia  dituduh mencuri kakao. Penggambaran pencurian kakao tampaknya bisa diurai dengan situasi sekarang. Seorang ibu yang memungut kakao tiga biji mesti berurusan dengan pihak berwajib dengan tuduhan sebagai pencuri. Akan tetapi, para koruptor bisa dengan lenggangnya besekongkol dengan oknum – oknum polisi, kejaksaan, dan kehakiman. Ketimpangan, kesenjangan, dan  perlakuan terhadap sesama manusia terlihat dengan amat benderang.
            Lan Fang dalam cerpen Festival Topeng Nasional melukiskan seorang perempuan yang tertindas karena keinginannya. Parameswari berkeingian menjadi istri yang bisa seperti Pakde Wan. Setelah suaminya menjadi Pak Dewan memakai topeng   Rahwana. Kehidupan keluarganya berubah.  Parameswari merasa dirinya jauh dari hati nuraninya. Kejujuran – kejujuran, ketulusan seakan tidak ditemukannya lagi. Ini menyiratkan manusia sering lupa denga hakikat dirinya sebagai manusia. Ia terlalu akrab dengan topeng – topengnya. Topeng – topeng  penutup kelakuannya yang bobrok.
            Traffiking bahkan tergambar dalam cerpen Wasiat untuk Cucuku. Anak  yang dinikahkan pada usia dini selanjutnya diatur agar bercerai dengan suaminya. Setelah bercerai, menjadi perempuan – perempuan panggilan,” Perempuan – perempuan yang menunggu di atas becak – becak itu adalah gadis – gadis kecil yang dikorbankan orang tua mereka untuk mendapatkan uang gampang. Ketika mereka memasuki usia belasan tahun dan baru mendapat mens beberapa kali, mereka dijodohkan. Setelah nikah sebulan- dua bulan, penceraian mereka diatur untuk mendapatkan surat cerai( hal.113).
            Perenpuan – perempuan  terpaksa menjadi pemuas laki – laki juga bisa ditemukan dalam cerpen Menjadi Anjing oleh Miranda Halan. Perempuan yang terpaksa menghidupi keluarganya dan bekerja di Malaysia.Kemiskinan yang menyebabkan menjadi gadis penghibur.,” …Barangkali karena kalau malam Anna ngetem di kedai Pak Loros, menawarkan jasa sebagai pemuas hasrat laki – laki; begitu dikisahkan Randu kepadaku ( hal. 126).
            Kisah hitam perempuan, perempuan yang termarginalkan karena faktor sosial,ekonomi,  politik, dan kemiskinan menjadi inspirasi yang menarik untuk diungkapkan dalam bentuk karya sastra. Kerinduan untuk bisa menghargai sesama manusia rupanya hanya sebagai idaman yang tak mudah didapatkan.

                                                            Penulis adalah guru SMAN 2 Amlapura.

Labels: