Basur, Cerita Perlawanan Hegemoni
Sebagai sebuah
cerita, Basur dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik. Penggabungan ini
akan semakin kompleks jika seorang pengarang memiliki kemauan, kemampuan,
penghayatan terhadap persoalan – persoalan yang menyebabkan sebuah karya sastra
itu lahir. Karya sastra bukanlah lahir dari sebuah kekosongan. Ia berbicara dan
menyuarakan masyarakat yang ingin diejawantahkan oleh seorang penulis. Bahasa
sebagai sarana untuk merefleksikan persoalan –
persoalan sosial yang mengusik
seorang penulis. Apalagi sastrawan sekaliber Ki Dalang Tangsub yang karyanya
sudah membumi bahkan terkadang tanpa disadari dilantunkan atau dikutip dalam setiap
pembicaraan adalah hasil renungan Ki Dalang Tangsub.
Sebuah karya sastra
akan bisa eksis hidup jika mampu menyuarakan problematika yang dihadapi
masyarakat pada zamannya. Problematika – problematika ternyata ada benang
merahnya dengan problematika yang dihadapi masyarakat dalam kekinian. Masa ini
tidak bisa dilepaskan oleh masa lalu. Pengarang lewat karyanya bisa mengatasi
sang waktu. Artinya, karyanya tidak lekang oleh waktu. Ia akan terus berbicara
selama manusia ingin menggali yang terdapat di dalamnya. Nilai – nilai inilah
yang perlu direnungi diresapi, dihayati sehingga karya sastra itu berguna dan
bermanfaat bagi kehidupan.
Salah satu yang unik
dalam geguritan Basur ini adalah Ki Dalang Tangsub berkeinginan menyuarakan
perempuan. Konsep, ide, gagasan, cita – cita, dan cinta dalam diri seorang tokoh Garulah itu
diwakilkannya. Perempuan yang tidak boleh diremehkan lagi. Perempuan yang
pemberani, tegas, dan tegar dalam menghadapi cibiran dalam masyarakat. Tokoh
yang menentang sebuah hegemoni yang diciptakan seorang pria, Gede Basur. Hegemoni Basur berusaha mendominasi, mempengaruhi
Garu agar menerima segala nilai – nilai moral dan budaya dalam dirinya. Akan
tetapi, Garu tetap pada sikapnya bahkan berani melakukan perlawanan.
Eksistensi
Garu
Keberadaan Garu dalam Basur
menarik diperbincangkan. Lebih – lebih
tokoh Garu sebagai simbolis perlawanan terhadap hegemoni pria. Suwardi Endraswara ( 2008 : 143 ) mengatakan bahwa hampir seluruh karya
sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi pria
selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi the
authority, sehingga mengasumsikan bahwa wanita adalah impian. Wanita selalu
sebagai the second sex, warga kelas
dua dan tersubordinasi. Ki Dalang Tangsub ternyata berbeda dengan pernyataan di
atas. Karya sastra klasik berupa geguritan Basur ternyata ingin mengukuhkan bahwa
wanita tidak selalu berada di bawah bayang – bayang pria. Wanita bisa
menunjukkan eksistensinya yang sama dengan laki –laki bahkan melebihi kemampuan
laki – laki.
Garu dihadirkan oleh Ki Dalang Tangsub
dalam pengembangan tokoh – tokohnya dengan segala tingkah polahnya serta
perwatakannya. Tokoh perempuan sebagai petunjuk bahwa tokoh Garu layak
mendapatkan perhatian bagi pecinta sastra. Ia seorang tokoh yang mampu
mengalahkan Basur. Kemampuan, intelektualitas seorang perempuan wajar
diperhitungkan . Perempuan tidak lagi berada di samping pria. Perempuan mampu
bersaing dengan pria dan bisa berada di depan pria. Ia bisa menjadi pemimpin
golongan pria.
Dalam konteks geguritan Basur, Garu bukanlah
seorang perempuan untuk direndahkan harkat dan martabatnya. Garu membuktikan
bahwa dirinya mengatasi pria. Karena pada masa – masa Ki Dalang Tangsub
berkarya, pengeleakan amat menonjol,
maka ilmu itulah sebagai sarananya. Di samping menunjukkan kepada khalayak
bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya milik pria. Dominasi pria tidak berlaku
dalam diri Garu. Garu bukan perempuan yang bisa diarahkan atau diatur oleh
pria. Garu adalah Garu yang menyuarakan isi hatinya dan mewujudkan impiannya agar bisa mengalahkan pria. Pria tidak ada hak
untuk memenjarakan keinginan, harapan,dan idealismenya sebagai perempuan. Garu
ingin membahasakan bahwa ia seorang perempuan yang mempunyai hak untuk
berbahasa. Bahasa perempuan pada hakikatnya adalah sebuah wacana sebagai sistem
representasi, yakni cara mengatakan, cara menuliskan, atau membahasakan
peristiwa, pengalaman, pandangan, dan kenyataan hidup tertentu. Bahasa
perempuan selalu mempresentasikan model pandangan hidup tertentu, yakni
gambaran sebuah konstruksi dunia yang bulat dan utuh tentang ide hidup dan
kehidupan yang sudah ditafsirkan dan diolah oleh perempuan ( Anang Santosa,
2009: 23). Perempuan dalam konteks Basur bermaksud agar suaranya didengar,
dirasakan, dihayati oleh kaum pria. Artinya,
perempuan tidak hanya bersikap menerima saja yang sudah diatur,
diarahkan oleh pria.
Asal – usul Garu
Garu, anak dari I Wayan Subandar. Jika ditilik dari
segi nama ayahnya, Subandar mengilustrasikan bahwa ayahnya seorang saudagar.
Artinya, dari segi perekonomian lebih baik atau minimal seimbang dengan I Gede
Basur. Meski tidaklah sepenuhnya benar nama ini berkaitan dengan latar belakang
ekonominya. Paling tidak seorang penulis cerita akan memikirkan nama tokoh yang
secara tidak langsung berkaitan dengan perekonomiannya. Contoh lain, misalnya
pemberian nama I Sugih teken I Tiwas ( Si Kaya dan Si Miskin).
Pengarang sebelum menuliskan nama tokohnya melakukan observasi kecil sehingga
tepat sesuai dengan yang dijadikan tokoh.
Tokoh Garu sebagai
perempuan yang pemberani. Ia keluar dari kebiasaan – kebiasaan umumnya seorang
perempuan. Keberaniannya menyampaikan isi hatinya perlu mendapatkan acungan. Ia
tidak berkeinginan menjadi perempuan yang pasif, pendiam, bersifat menerima.
Obsesinya teramat tinggi. Kesempatan baginya tidak akan datang dua kali.
Gunakanlah kesempatan itu sebaik – baiknya. Garu mengetahui kebingungan seorang
pria ( I Tigaron) yang isi hatinya tidak terpenuhi. Wajarlah Garu mendekatinya.
Garu seorang perempuan yang keluar dari jalur kebiasaan umum. Garu menyadari
sikapnya itu tidak akan berterima dalam masyarakat dan wajar masyarakat
menilainya negatif. Garu berbeda dari
koridor kesepakatan. Sesuatu yang berbeda terkadang dianggapnya melawan arus.
Garu berani
menunjukkan bahwa perempuan berhak menyuarakan isi hatinya: Tigaron sedekan bungsang, yéh matané
paturibis, Ni Garu galak matakon, nguda beli nyakit kayun, matangi beli
ngajengang, titiang mai, apti magrereh idéwa ( Tigaron saat bingung, air
matanya merembes, Ni garu galak bertanya, mengapa kakak sakit hati, bangunlah
kakak makan, aku datang, untuk mencari engkau). Keberanian Garu untuk bersuara
bukanlah hal yang biasa dilakukan oleh seorang perempuan. Garu keluar dari
koridor umum yang menyatakan bahwa perempuan mestinya berbicara halus, pelan,
dan menyembunyikan isi hatinya, tetapi Garu tidak bersepakat dalam konteks itu.
Ia ingin berbeda dan ingin menyampaikan kekhasan yang dimilikinya yang tentu
saja akan berbeda dengan yang sudah disepakati. Konsekuensi dari sebuah
ketidaksepakatan adalah akan dipandang remeh atau merendahkan dirinya di
hadapan seorang pria. Garu tidak sepakat dengan hal itu. Perempuan juga sama
dengan pria yang berhak untuk berbicara dan menyuarakan yang ada di hatinya.
Ada perlawan terhadap kesepakatan –
kesepakatan sosial kemasyarakatan. Kesepakatan – kesepakatan itu lebih banyak
ditentukan oleh pria.
Perwatakan
Garu, seorang perempuan yang menurut
ukuran Gede Basur kurang berkenan baik secara fisik maupun psikhis. Garu tidak
hanya fisiknya yang banyak diceritakan juga perlawan psikhisnya terhadap
kelakuan Gede Basur. Perempuan yang berani menentang hegemoni laki – laki. Laki
– laki bukan lagi seorang yang istimewa di hadapan Garu. Laki – laki juga punya
keterbatasan dan Garu mengetahui hal itu. Kesempatan yang amat baik untuk
melawan hegemoni laki – laki adalah dengan meningkatkan kualitasnya salah
satunya dengan menguasai ilmu pengléakan.
Laki – laki tidak mampu mengalahkan seorang perempuan. Perempuan juga bisa
merajai pria. Secara tersirat Garu adalah tokoh Calonarang. Ki Dalang Tangsub
mentransformasikan Calonarang ke dalam
tokoh Garu.
Perempuan tidak bisa diremehkan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan atau boleh dikatakan perempuan sama bahkan melebihi
laki – laki. Penguasan ilmu bukan hanya milik laki – laki. Perempuan juga
mampu. Hegemoni laki – laki berhak untuk dilawan. Perempuan berhak menunjukkan
eksistensinya sebagai seorang yang bermartabat bukan selalu berada pada posisi
tertindas dari keputusan seorang laki – laki.
Garu sebagai perempuan dapat ditemukan
dalam keputusannya untuk mendalami ilmu pengléakan.
Salah satu ilmu yang amat tepat digunakan oleh Ki Dalang Tangsub untuk
menunjukkan bahwa perempuan tidak pantas untuk direndahkan martabatnya. Garu terus
berusaha agar mampu menguasai ilmu pengetahuan. Orang yang berilmu umumnya
lebih diperhatikan oleh orang lain. Ada keseganan terhadapnya karena kelebihan
terhadap ilmu yang dimilikinya. Garu membuktikan bahwa dengan ilmulah ia
berdiri sejajar dengan pria. Tanpa ilmu tidak akan mungkin mengalahkannya.
Kualitas keilmuan akan semakin disegani jika memang benar – benar terbukti
memliki ilmu. Jika tidak, meski mengaku berilmu, kalau tidak pernah terbukti
tidak akan mendapatkan penghormatan dari orang lain. Kualitas diwujudkan dengan
kesaktian. Tanpa ada tuah dari ilmu belum dianggap berilmu. Garu menyadari hal
itu. Ia ingin sakti. Proses agar bisa sakti tidaklah mudah. Perlu kerja keras,
tahan uji dan sering mengadu ilmunya: I
Basur masih ngiwa, panganggoné tuah abedik, maadan Bajera Kalika, peranakané
tuah satus, pedas nyai mangalahang, nyai sakti, tan sandang wedi lawan ia (
I Basur juga menjalankan ilmu kiri, penguasaannya hanya sedikit, yang bernama
Bajera Kalika, pasukannya hanya seratus, tentu engkau mengalahkan, engkau
sakti, tak usah takut melawan ia).
Kutipan di atas menyiratkan bahwa Garu seorang
perempuan yang tangguh sehingga mampu menguasai ilmu pengetahuan secara
maksimal. Usaha dan kerja kerasnya membuahkan hasil. Garu berada di atas Basur.
Perlawanannya melalui penguasaan ilmu
pengetahuan dapat mengatasi sosok Basur. Jangan menganggap remeh seorang
perempuan. Ia bisa menaklukkan seorang pria.
Lingkungan Garu
Lingkungan sosial
kemasyarakatan Garu belum siap menerima kebiasaan – kebiasaan yang
dijalankannya. Garu keluar dari kebiasaan. Sesuatu yang keluar dianggap berani,
menentang, dan melawan aturan – aturan ataupun kesepakatan sosial. Garu tidak
mau dibelenggu oleh kesepakatan yang menurutnya mengekang hak azasinya sebagai
seorang perempuan. Perlawanan – perlawanan terhadap kesepakatan sosial pun
dijalankannya. Cara yang paling sederhana adalah berani berbicara di hadapan
seorang pria mengenai yang mengganjal isi hatinya. Masyarakat memandangnya itu
bukanlah cermin dari seorang perempuan. Perempuan yang pemberani seperti itu
tidak akan mendapatkan penilaian yang positif. Dianggapnya perempuan yang
merendahkan martabat dirinya.
Ki Dalang Tangsub
berani menghadirkan Garu yang melakukan perlawan terhadap hegomoni pria. Ada
semacam protes sosial yang disuarakan. Sebagai pengarang, ia mengadakan reaksi
keras terhadap kondisi sosial masyarakatnya ( Yakob Sumardjo, 1982 : 18). Masyarakat
yang menganggap bahwa seorang perempuan belum waktunya sebagai pemimpin, berani
dilawan oleh tokoh Garu. Garu sebagai pengejawantahan ide – ide, pandangan
seorang Ki Dalang Tangsub terhadap masyarakatnya. Ia tidak berdiam diri saat
melihat seorang perempuan tidak dihargai lagi. Jalan ilmu pengetahuanlah
digunakan sebagai jalan untuk mengutarakannya. Kekhasan kualitas sesorang yang
membedakan dirinya dari orang lain, yang membuatnya berkemampuan menghadapi
kesulitan, ketidakenakan, dan kegawatan ( aktualisasi pontensi diri ) ( Yudi
Latif,2009: 81). Dengan kualitaslah seseorang dianggap bermartabat karena mampu
mencapai tingkat aktualisasi diri tingkat kebutuhan tertinggi menurut Maslow.
Garu mendapatkan aktualisasi dirinya
tidaklah dengan mudah. Ia perlu perjuangan dan jalan panjang. Perempuan yang
berani melawan sebuah hegemoni perlu kerja keras tanpa menyerah. Sebuah cita –
cita akan terwujud jika ada semangat dari dalam dirinya. Garu mengungkapkan
bahwa hegemoni pria berhak untuk dilawan.Yang lebih penting adalah perlawanan
untuk beradu ide, argumentasi, gagasan yang memberikan pencerahan bagi sesama. Kualitas
dirilah yang diutamakan bukan hanya dalam tataran fisik. Dengan kualitas yang
melebihi pria, maka tidak ada tempatnya lagi untuk menjadi perempuan sebagai
kelas dua. Pria dan wanita adalah dua makhluk yang diciptakan sama bukan
berbeda. Perbedaan hanya ada pada kodratnya saja. Hal – hal inilah yang menarik bagi Ki Dalang Tangsub hingga
menghadirkan perempuan Garu yang diremehkan, tetapi mampu mengalahkan sosok
pria.
Garu sadar sebagai perempuan perilakunya
akan banyak mendapatkan sorotan karena berbeda yang juga dianggap berani oleh
kaumnya sendiri.Bukan sebaliknya, sebuah perbedaan meski hadir jika
menginginkan kehidupan tetap berjalan. Dengan perbedaan itulah, menjadikan
manusia berpikir dan merenungi yang selama ini dijalankan. Bukan berdiam diri
lebih – lebih beranggapan bahwa segala sesuatunya sudah mencapai titik puncak. Manusia
makhluk berpikir karena itu ia
ada,pikiran – pikiran yang mencerdaskan bagi dirinya juga bagi masyarakatnya.
Garu itu berpikir. Karena berpikirlah, maka keberadaannya sebagai perempuan
diperhitungkan di hadapan laki – laki dan mampu melakukan perlawanan hegemoninya.
Labels: Esai